Halaman

Senin, 29 Februari 2016

Travel Story Part IV (My Trip - Antara Petualangan dan Perjuangan)


Setengah jam berjalan, awan mendung rupanya tak mampu lagi menahan air serapan. Sehingga kami mulai dikeroyok gerimis kecil. Pak Ketu akhirnya menepikan rombongan. Sebagian ada yang pake jas hujan, sebagian lagi ngga. Aku sendiri ngga pake, soalnya banyakan yang ngga pake. Waktu itu yang pake jas cuma 2 orang aja, banyak yang ngira ujannya pasti bakal makin kecil. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan tanpa pake jas hujan.

10 menit berjalan, dugaan kami salah besar. Hujan turun semakin deras. Dan disinilah penderitaanku dimulai. Motorku mulai terbatuk, gara-gara businya kena air hujan. Dan akhirnya, motorku berhenti tiba-tiba. Aku menepi, awalnya aku takut motornya ngga bisa hidup lagi, tapi pas ku coba selah, dia bisa hidup lagi dan baik-baik aja meskipun dalam hati aku tahu, motorku bermasalah. Tak kusangka, motor A Adul sama motor Pak Ketu juga menepi, sekitar 5 meter di depan pemberhentian ku. Mungkin mereka kira aku berhenti karena mau pake jas hujan karena hujan yang semakin mengguyur deras.

Aku ngga berani cerita kalo motorku mulai bermasalah, aku takut mereka khawatir. Meski takut terjadi apa-apa, aku simpan ketakutan itu sendirian. Bahkan sama Ina –yang aku bonceng- pun aku ngga berani cerita. Dan itu cukup menyakitkan. Aku jadi keinget Teh Sari. Kalo aku jalan sama dia, pasti dia langsung tahu kalo motorku bermasalah.

Tadinya Dikri ngajak istirahat dulu, karena waktu itu selain hujannya deras juga disertai angin. Dikri bilang kasian aku sama Ina. Sebenernya dia ngekhawatirin Ina, sampe-sampe dia rela ngga pake jas hujan karena dipinjemin ke Ina. *Duh, asli baik banget nih si Dikri ckckck. :D Tapi karena waktu itu udah hampir setengah enam sedangkan perjalanan masih jauh -kita berhenti juga ngga tau di daerah apa- jadi Pak Ketu memutuskan untuk lanjut aja. 

5 menit berjalan, jalanan menanjak. Dan pas aku oper, lagi-lagi motornya berhenti ngedadak. Ina mulai khawatir. Tapi pas aku selah, motornya hidup lagi. Kata bapak-bapak disana, ngga apa-apa asal gasnya jangan dikendorin aja. Dan dari sinilah penganiayaan terhadap motorku dimulai. Karena aku takut motornya mati lagi, aku nekat pake gigi 3 sepanjang perjalanan dan gas ngga aku kendorin. Kalopun keadaannya aku harus pelan, aku tetep tancap gas tapi sambil pasang rem. Aku cuma bisa ngedo’a “Ya Allah, kuatkan dan selamatkan motorku sampe rumah.

Di persimpangan Pamijahan, lagi-lagi temen-temen nunggu aku sama Ina yang ketinggalan. Dan meskipun aku sempat berhenti, mereka nyuruh aku duluan. Haha. Lucu juga sih. Aku selalu disuruh duluan tapi ujung-ujungnya tetep aku yang ketinggalan. Aku ngga peduli dibelakangku masih ada motor temen atau ngga. Yang waktu itu aku inget aku cuma punya Allah tempat aku meminta pertolongan.

Hari semakin gelap, dan ternyata 2 motor temenku masih ada dibelakang. Mereka menepi, aku ikut menepi juga. Pas kami berhenti, adzan magrib berkumandang. Dan setelah kulihat sebuah plang pesantren, aku tahu kami baru nyampe di Cibalong. Kami pun melanjutkan perjalanan. Waktu itu aku niatkan sholat magribku dijama’ takhir sama isya.

Sekarang hari benar-benar gelap, dan hujan masih belum berhenti. Sedangkan rute perjalanan Tasik-Pamijahan, ada yang tau? Rute hutan yang berkelok dan minim lampu penerangan. Untuk pencahayaan, saat itu Aku hanya percaya pada lampu motorku dan beberapa kendaraan yang melintas. Dan untuk pertama kalinya aku tau fungsi garis putih dan kotak alumunium’ yang dipasang di tengah jalan, sebagai petunjuk –ketika malam tiba- agar pengguna jalan tau harus belok kiri atau belok kanan.

Dan apesnya, garis putih di jalur ini hampir jarang ku temukan. Bahkan di suatu tempat, mataku yang udah perih karena terus disiram air hujan bener-bener ngga bisa liat jalan. Duh, kalau sampe salah belok kan bisa-bisa masuk jurang. “Ya Tuhan, hanya Engkau yang mendengar jeritan hatiku saat ini. Tolong selamatkan kami!” Air mataku meleleh bersama air hujan. Benar-benar penuh perjuangan. Satu hal yang saat itu sangat aku inginkan, aku ingin cepat menemukan jalan kota.

Sekitar satu jam setengah kami berjuang melawan jalan yang minim penerangan, mataku menangkap tulisan Polres Kawalu. Meskipun belum sempe Kota tasik, tapi setidaknya hati kecilku yakin daerah perkotaan akan segera kami temukan. Dan 15 menit kami berjalan, benarlah kami menemukan perempatan lampu merah lengkap dengan papan petunjuk arah. Yang sempat ku baca saat itu Lurus=pusat Kota, Belok Kanan=Cibereum, Cirahong. Namun karena lampunya keburu warna hijau, aku ngga punya waktu buat milih, akhirnya kujalankan motorku ke arah kanan, dimana terakhir otak dan mataku menangkap tulisan Cibereum, Cirahong. Tapi setelah aku pikir ulang, mungkin jalanan akan lebih aman ke pusat kota. Selain karena Cirahong penuh aroma mistis, disana juga ada beberapa tanjakan. Untuk motorku yang sedang bermasalah *duh bahaya kayaknya. Setelah berjalan cukup jauh karena sambil berdiskusi dengan Ina dan batinku sendiri. Akirnya kuputuskan puter balik ke lampu merah tadi.

Dan 100 meter arah lurus dari plang tadi aku langsung masuk JL. K.H. Zaenal Mustofa. Alhamdulillah, mungkin hanya Allah yang tau betapa senangnya aku saat itu. Apalagi setelah menemukan Asia Plaza dan ramainya suasana kota. Walaupun aku masih meraba jalan, karena belum faham benar jalan kota Tasik. Tapi setidaknya aku sudah menemukan peradaban. Dan akhirnya aku menemukan jalur Karang Resik –jalur keluar dari kota Tasik menuju Bandung ataupun Ciamis. Aku juga sempat isi bensin disana, karena sejak tadi motorku terus tancap gas jadi bensinnya boros. Mungkin temen-temen yang lain udah pada nyampe Ciamis, aku juga ngga tau bagaimana perjuangan mereka (walaupun pada sehari setelahnya, kata Dikri ngeliat aku ngisi bensin disana. Tapi aku ngga liat dia). Aku pun segera melanjutkan perjalanan. Jalur Tasik-Ciamis alhamdulillah ramai lancar.

Dan karena sejak tadi siang perut kami kosong –belum diisi nasi, baru diisi camilan, sepertinya aku dan Ina kelaparan. Setelah sampe alun-alun Ciamis, kami pun berhenti untuk membeli nasi goreng. Dan disinilah insiden terjadi, pas ina turun dari motor kudapati resleting tas Ina sudah membuka selebar-lebarnya. Keliatannya nya udah dari tadi. Dan benarlah beberapa isi tasnya hilang termasuk dompet yang berisi HP dan beberapa barang berharga lainnya.

Musibah emang bisa terjadi sama siapa aja, selain berusaha menenangkan Ina aku yang udah kelaperan dan kedinginan ngga bisa berbuat apa-apa. Untung ada Polisi Lalu Lintas yang juga lagi jajan. Ina minta saran deh sama Pak Polisi. Akhirnya, Ina diminta lapor dulu ke polsek Ciamis untuk menyatakan kehilangan.

Itulah sekelumit kisah perjalananku yang kurasa penuh dengan perjuangan. Karena aku nganter dulu Ina ke kantor polisi jadi aku tiba di rumah sekitar pukul setengah 10 malam, dan itu masih gerimis lho. Hm, lumayan sensasi dinginnya kehujanan selama 4 jam setengah masih terbayang sampe sekarang. Bahkan kalo sore-sore turun hujan deras, perjalanan ini selalu terbayang :)

Pelajaran yang kudapat pada perjalanan kali ini, kalo kalian mau melakukan perjalanan yang sangat jauuuhh

  1. Pastikan kendaraan kalian benar-benar oke. Kalau perlu service dulu. Bahaya juga kan kalo terjadi sesuatu yang ngga diinginkan dijalan.
  2. Jangan lupa bawa jas hujan! (kalo naik motor)
  3.  Pastikan bawa tas yang aman buat nyimpen bekal dan barang berharga!
  4. Meskipun pada kenyataannya (bagiku) emang cukup sulit. Tapi Lawanlah rasa takutmu! Karena percayalah sebagian besar rasa takutmu itu tak pernah terwujud.
  5.  Jangan bergantung pada sesama! Bergantunglah pada Sang Pencipta.
 Oke take care and be happy :D See you on next travel bye.bye ;)

Baca juga ==>

Travel Story Part III (Tambal Ban)

Tak terasa, cuaca semakin panas dan mentari sudah semakin barat. Mengingat perjalanan Ciamis-Pantai Santolo cukup memakan waktu (berarti kebalikannya juga ngga terlalu berbeda) Pak Ketu menginstruksikan agar kami segera berkemas.

Sambil menunggu perahu yang akan membawa kami menyebrang. Kami kembali berfoto di gapura pintu masuk ke Pantai Santolo.
(Dari kiri ke kanan: Holiz, Teh Vitra, Ina, Dikri, Aku)


Setibanya di parkiran, aku mendapati motorku sudar bergeser dari tempat semula. Tak masalah sih, mungkin tadi lagi banyak kendaraan tapi yang ku sayangkan bergesernya itu lho ke tumpukan sampah.

Perjalanan pulang, aku kembali boncengan sama Ina. Baru beberapa meter berjalan, aku ngerasa motorku jalan sempoyongan. Setelah aku cek, bener aja, ban belakangnya udah kehilangan angin level akut alias kempes berat. Terpaksa aku harus nyari rumah sakit ehh bengkel terdekat. Untung aja pas aku nanya, bengkelnya ngga jauh sekitar 100 meter dari pintu masuk. (Temen-temen kemana?) ya, aku paksa buat nungguin lah. Haha ngga deng, tanpa aku pinta mereka care (baca:terpaksa) kok nungguin aku kkkkk *terharu. Setelah diperiksa ternyata bannya emang bocor tertusuk paku kecil. Kayaknya dari tumpukan sampah tadi di parkiran. Alhasil banku harus, ditambal.

20 menit menunggu, tambal ban selesai. Kita segera capcus dari pantai santolo untuk pulang. Kita ngga ambil rute pegunungan yang tadi lagi. Tapi kali ini kita mau ambil rute tepi pantai cipatujah-pamijahan. Dan sesuai kesepakatan, pak ketu diminta untuk berhenti di pom bensin pertama yang kami temukan. Apesnya, di pom ini kendaraan yang mau ngisi bensin lagi penuh guys. Aku kehilangan jejak teman-teman, akhirnya aku (terpaksa) mengantri di antrian yang panjang -_-

Dan ternyata anak-anak yang lain pinter banget cari antrian. Aku masih diantrian ke enam. Anak-anak udah pada nungguin aja dipinggir jalan. yang bikin kezel, kendaraan udah antri panjang tapi itu petugas pom nya malah main-main sambil cengengesan. *huffftt Lagi-lagi aku jadi subjek yang ditunggu, ngeLAMAin. *pas waktu itu dalam hati aku bilang, kawan-kawan, maaf ya! Sayangnya, aku anak baru yang masih belum akrab sama mereka, jadi Cuma berani bilang di dalam hati aja.

Setelah semua personil lengkap, kami segera meluncur. Pas kami berangkat dari pom bensin pas adzan ashar berkumandang lho! Berarti, waktu kita berangkat, sekitar pukul 3 sorean. Waktu itu, sholat ashar kami udah dijama’ sama dzuhur ya. Jadi ngga lagi cari mesjid buat sholat ashar.

Pertama kami memasuki rute “tepi pantai” ternyata rute nya emang bagus. Selain jalannya mulus, karena masih termasuk dataran rendah jadi jalannya juga lurus –ngga terlalu banyak belokan atau tanjakan ya. Tapi disepanjang rute ini minim perumahan, yang ada Cuma perkebunan karet nan rindang sepanjang perjalanan.

Jalannya juga cukup sepi, cuma dua-tiga kendaraan yang kami temui di jalan. Dan seperti biasa aku mendapat posisi terakhir, yang dapet posisi pertama, biasa Pak Ketu yang balapan sama Holiz ama A Juju. Untung A Adul, Iskandar sama anak prakerin berkenan ‘menurunkan’ kecepatan jadi aku masih bisa ngimbangi mereka.

Setengah jam berjalan, anak prakerin –yang dapet posisi 2 terakhir- menepikan motornya. Ban mereka ternyata bocor. Aku yang pada saat itu, jadi saksi berusaha jadi pahlawan buat nyari bantuan. Maksudnya, mau ngejar temen2 yang udah pada lari duluan, atau kalaupun ngga bisa ke kejar paling ngga aku berharap menemukan bengkel atau rumah warga yang bisa dimintai bantuan.

Beruntung diantara motor A Adul sama iskandar ada yang nengok spion. Jadi ada yang tahu kalo 2 motor di belakang menghilang, mereka pun berhenti di tikungan sekitar 200 meter dari tempat kejadian. Aku sempet ditawarin ngelanjutin perjalanan duluan. Tapi aku ngga mau, iya jalannya lurus-lurus aja tapi rutenya sepi, jarang rumah, Cuma ada pekebunan kalo ada apa-apa sementara pasukan yang di depan belum kekejar dan mereka yang di belakang masih belum keliatan. Kan cuma aku sama Ina yang jalan sendirian. Oh, tidak.tidak.tidak. Aku lebih baik nunggu tambal ban.

50 meter dari tikungan, kami menemukan sebuah rumah sekaligus warung dan bengkel. Alhamdulillah, bahagianyaa. Sambil nunggu ban anak prakerin ditambal, kami beristirahat dan jajan. Disini, waktu menunjukan pukul setengah empat sore. A adul bilang, takut kemalaman di daerah sini. Bahaya katanya rawan begal. Asli, pas a adul bilang gitu aku makin takut, selain awan sore semakin mendung. Aku kan selalu ketinggalan. Do’aku dalam hati, “Ya Allah, selamatkan kami. Aamiin. “

Tapi ternyata tak hanya rombongan kami yang mengalami kempes ban, tak lama setelah kami berhenti disana ada juga rombongan pemancing yang bannya juga kempes. Aku jadi ngerasa ngga sendirian. Ternyata kalo mau lewat rute ini emang harus siaga. Bensin  harus full, motor harus oke karena kalo ada apa-apa kita bakal kesulitan nyari bantuan.

15 menit menunggu, tambal ban selesai. Kami melanjutkan perjalanan. Selama di jalan lurus, aku berusaha di posisi depan. Meskipun pada akhirnya aku selalu disalip apalagi ditanjakan, ngga papa asal aku ngga terlalu ketinggalan.

Hari semakin sore dan awan semakin mendung. Dan ternyata rute perkebunan ini panjang banget. Setengah jam berjalan, kami menemukan motor pak ketu, holiz dan a juju yang menunggu di sekitar daerah cipatujah. Dan sepertinya rute perkebunan berakhir disini, kami mulai menemukan beberapa rumah dan tanda-tanda kehidupan. Kami juga sempat melihat pelangi yang membentang di awan cipatujah, subhanallah indahnyaa. (y) :) 

Sabtu, 20 Februari 2016

Travel Story Part II (Pantai Santolo - Akhirnya Kau Ku Temukan)

Setelah melakukan perjalanan Ciamis-Pameungpeuk selama ± 7 jam. Pukul 11.00 kami pun tiba di pantai yang kami cari. Seperti yang sudah ku ceritakan, meskipun hari sudah siang tapi suasana di pantai ini amat sangat ramai. Pengunjung yang baru tiba terus berdatangan, sampai kami kesulitan untuk mencari tempat parkir beberapa saat. Pertama kali yang terlintas dalam benak ku ketika melihat suasana pantai adalah kata panas. Ya, selain karena matahari sudah berada di atas kepala di tepi pantai juga jarang ada pohon untuk tempai berteduh seperti di Pantai Pangandaran.


Setelah kami menemukan tempat parkir di ujung selatan pantai, kami segera berjalan menyusuri pantai. Dan ternyata, tempat wisatanya itu bukan hanya pantai sepanjang parkiran saja. Tetapi ada tempat lain yang harus kamu kunjungi jika kesana, lebih tepatnya sebuah pulau. Pulau yang menjadi nama pantai ini, yupz ialah Pulau Santolo.


(Pintu masuk ke Pulau Santolo)

Untuk dapat menginjakan kaki di pulau ini, kita harus menyebrang sungai –yang belakangan ku ketahui namanya Sungai Cilaut Eureun. Lebar sungai ini hanya sekitar 100 meter. Kita bisa menyebrang dengan naik perahu penduduk setempat. (Atau kalau suka tantangan, berenang juga boleh lah)Untuk ongkos naik perahu pergi dan pulang (baca: PP) kita hanya perlu merogoh koceh 4000 rupiah per orang.


Menurut cerita, pulau ini menjadi salah satu urat nadi perekonomian yang dibangun kolonial Belanda di wilayah selatan Jawa Barat lho. (lebih lengkapnya kalian bisa searching sejarah pulau Santolo)
(perahu penduduk setempat yang bisa kita sewa untuk menyebrang ke Pulau Santolo)

Berbeda dengan pantai sebelah utara, di Pulau Santolo suasananya lebih teduh. Hal ini disebabkan karena di pulau santolo lebih banyak pepohonan daripada di pantai utara. Sesampainya di sana Pak Ketu segera mencari tempat peristirahatan. Di pulau ini memang disediakan puluhan saung (bahasa Indonesia = balai) bambu untuk tempat beristirahat para wisatawan. Karena beberapa menit lagi akan memasuki waktu dzuhur, jadi kami mencari saung peristirahatan yang dekat dengan mushola. Kami mengistiratkan tubuh sejenak. Tubuh yang lelah setelah mengendarai motor selama 7 jam ditambah terpaan angin pantai semilir terasa sangat menggoda mata untuk  terpejam disana.

Sebagian teman ada yang langsung berkeliling menyusuri pulau, sebagian memilih untuk merebahkan tubuh di balai dan membuka bekal dan sebagian lagi ada yang langsung menyerbu toilet seperti yang ku lakukan. Teh Vitra yang sempet sakit diperjalanan juga ikut mencari toilet. Setelah adzan tiba kami mencari mushola. Namun sangat disayangkan, mushola yang kami temukan benar-benar tak terawat. Sebenarnya tak hanya mushola, semenjak pertama kami mengijakan kaki di pulau ini, mata kami langsung disuguhi oleh tumpukan sampah laut. Alhasil, keindahan pasir putih pantai terkalahkan oleh sampah yang berserakan.

Selesai sholat, aku kembali ke tempat teman-teman. Ingin sekali rasanya tidur, tapi kalo jauh-jauh dari Ciamis datang ke Pulau ini cuma untuk tiduran kan jadi mikir ulang. Jadi, kuputuskan untuk berkeliling pulau bareng Ina. Ada yang unik dari Pulau Santolo ini. Pantainya berupa batuan karang.
(Salah ambil tempat -_-, sampahnya keliatan ckckck)

(Kalo berfoto di terumbu karang, hati-hati ya! Asli, Terumbu karang disini tajam-tajam)

Puas berfoto di terumbu karang, kami kembali menyusuri pulau. Banyak pedagang dan penjual souvenir yang kami temui. Ingin rasanya membeli, tapi mengingat bekalku yang pas-pasan terpaksa ku kubur keinginanku dalam-dalam. Setelah berjalan sekitar 300 meter, kami menemukan satu tempat indah untuk berfoto. Aku sama Ina yang notabene anak narsis yang suka difoto, segera menyerbu tempat tersebut dan melakukan beberapa gaya


 


 
(selain karena aku takut ketinggian disini angin lautnya juga gede banget, aku sama Ina agak kerepotan menanganinya. Jadi fotonya ngga seindah view mata kita, hmm)

Setelah puas, kami kembali ke base camp peristirahatan. Sepertinya masih banyak tempat indah yang wajib kami telusuri disana. Tapi karena sebelum penelusuran kami diwanti-wanti sama Teh Vitra supaya ngga pergi jauh-jauh, jadi terpaksa kami harus segera kembali kesana.


Baca juga 


Jumat, 19 Februari 2016

Travel Story Part I (Pesona Alam Garut Selatan)

Haii blog walkers! Aku punya cerita. ^_^
*Sebenernya lagi males nulis, tapi berhubung daya ingatku rendah. Jadi kalau cerita-cerita amazing tak ku tulis, besar kemungkinan cerita itu akan hilang dengan mudahnya. Duh kalau sampe lupa, sayang banget kan. Makanya biar kata males-males plus masih menikmati sensasi pegel-pegel, aku tetep maksain nulis cerita ini. Oke check it out!

Ini cerita tentang traveling ku ke Pantai Santolo (ada yang tau Pantai Santolo?? Hm,, Kalo gitu… sama. Awalnya aku juga ngga tau. Haha) Itu lho yang pantai selatan letaknya di Pamengpeuk. (Kalo kata Pamengpeuk kayaknya sering denger ya?) Yupz, Pamengpeuk Kabupaten Garut. 

(Kalo kalian searching, kalian bakal nemuin gambar ini –Pantai Santolo. Gimana? Pantainya keren kan?)

Ceritanya, anak-anak di tempat ku kerja berencana mengisi hari minggu -7 Februari- yang indah ini dengan liburan ke pantai tersebut. Rencana awal sih, ke Pangandaran, Citumang tapi dengan beberapa alasan dan berbagai pertimbangan -yang aku ngga tau- akhirnya, anak-anak memilih untuk touring ke Garut Selatan.

Pas di kasih tau temen-temen mau liburan, aku semangat banget untuk ikut. Karena liburan panjang akhir tahun kemarin aku ngga berlibur sama sekali (suci, suci, kasian banget sih kamu) Tapi mendekati hari H minatku untuk ikut semakin berkurang, alasannya:
  1. Hari minggu sebelumnya -31 Januari- aku diajak liburan ke Pantai Pangandaran. Jadi hasrat berlibur ku sudah banyak terpuaskan.
  2. Lagi ngga enak badan setelah beberapa malam kurang tidur gara-gara mengerjakan kumpulan administrasi buat PPL.
  3. Ini yang paling utama, lagi terkena penyakit kanker kronis alias boke tingkat dewa :( duh, ckckck
Jadi pas dikasih konfirmasi, temen-temen mau touring ke pantai Santolo aku jadi mikir ulang.

Tapi ketika hari Sabtu aku pulang dari sekolah, ternyata ibu udah nyiapin selengkap-lengkapnya perbekalan. Mulai masak ayam, masak lontong, sampai buat bolu khusus untuk anaknya tersayang –perhatian banget kan ibuku ini :)- Kalau aku batalin, wah bahaya. Seengganya mungkin ibu bakal sedikit kecewa, temenku yang ngajak juga –Ina, namanya- pasti ngga bisa berangkat soalnya kita bakal touring pake motor sementara motornya udah pas berpasangan. Ditambah aku yang memang sedikit penasaran dengan alam Garut Selatan. Jadi ya terpaksa, ku putuskan untuk ikutaan. hehe

Awalnya sempet takut, seperti pertama kali mau berangkat ke Bandung tahun lalu. Takut rutenya penuh tanjakan sementara musuh terbesar motorku itu, ya tanjakan. Takut ketinggalan, soalnya kalo konvoi sama temen-temen kerja itu serasa lagi di arena balapan dan aku selalu dapet posisi yang terakhir. (Ngenes kan?) Hmm. Tapi aku ingat satu hal, bahwa 80% ketakutan itu hanya ada dalam pikiran, ngga pernah terjadi. (Jadi, Ayolah suci, come on! Berani. Berani. Berani)

Ina sempet nawarin pake motor barunya. Tapi aku ragu. Setidaknya aku punya beberapa pemikiran. Bawa motor sendiri itu tetep lebih nyaman daripada bawa motor orang. Kita tau kelemahan dan kekuatan motor kita dimana. Jadi kita bisa mengendarainya dengan lebih bijaksana. Truz motor Ina kan motor baru, kalo terjadi apa-apa takut ngga bisa bertanggung jawab (baca: pengecut ya)

Kami berangkat pukul 4 pagi. Pas berangkat, aku sama Ina akhirnya dipisah. Ketua rombongan -Wildan- mungkin merasakan hal yang sama, takut motorku ketinggalan. Jadi dia nyuruh anak prakerin –Lukman- buat bawa motorku, sementara aku? Dibonceng aja ya. Aku percaya Lukman bisa ngebut bawa motor dengan catatan kalo motor biasa. Tapi kalo bawa motorku, sepertinya aku ngga bisa percaya gitu aja. Secara, motorku kan luar biasa. Aku bilangin kelemahan motorku. Dia cuma manggut-manggut aja. Ya udah terpaksa, aku berusaha percaya.

Baru berjalan sekitar 2 km, rombongan berhenti di pom bensin. Sementara aku seperti biasa, ketinggalan. wkwkwkwk. Lukman kesulitan ngoper gigi guys. Di pemberhentian ke 2 pun sama, temen-temen yang lain terpaksa nungguin aku sama Lukman. Disini Lukman sempet kena semprot teman-teman gara-gara selalu ketinggalan. Ckckck. Kasian juga sih tapi udah berkali aku bilang, kalo Lukman ngga sanggup jangan dipaksa, biar aku yang bawa. Tapi Lukman tetep maksa bawa. Hingga akhirnya di pemberhentian ke 3 –setelah kita solat subuh- Lukman menyerah haha. Dia sempet minta temen yang lain buat bawa, tapi ngga ada yang bisa (baca: ngga ada yang mau ya). Ya udah aku maksa rebut kendali secara paksa. Mungkin dia khawatir, aku ngga bisa bawa. Hmm dia belum tau aja, biar gini-gini juga aku kan adeknya A Vale. Right? :)

(Bergaya dengan motorku tersayang :))

Setelah melewati pemandangan indah -entah dimana- yang pasti ada tugu perbatasan Kab. Tasik, rombongan berhenti lagi untuk yang ke 4 kalinya. Dua motor tertinggal, karena ada motor yang bannya bocor. Jadi kita nunggu mereka sambil sarapan. Tapi karena bocornya masih di jalur hutan, jadi mereka kesulitan menemukan bengkel untuk tambal ban. Ahkirnya, Pak Ketu memutuskan untuk menunggu mereka di depan, di jalur potong –aku ngga tau nama tempatnya apa. Dan kami pun berhenti di sana.

Setelah menunggu sekitar 20 menit. Yang ditunggu  –motor A Juju sama Iskandar- pun tiba.  Sebelum melanjutkan perjalanan, Wildan sempat minta Lukman bawa motorku kembali. Katanya jalannya rusak, berbelok-belok pula. Tapi kalo Lukman yang bawa, aku yang khawatir. Di jalan yang lurus aja, dia kerepotan ngoper gigi, apalagi di jalan rusak. Jadi aku minta sama Lukman, biar aku yang bawa. Lukman pun akhirnya setuju. (Aku penasaran, emang jalannya serusak apa? Kalo belum se-ekstrim jalan Tanjung Sukur-Rajadesa kayaknya aku masih bisa. Dan ternyata benar, rusaknya masih level biasa)

Di sepanjang jalan yang kata Wildan rusak itu, mata kami kembali disuguhi oleh pemandangan yang tak kalah indah dari pemandangan pegunungan Himalaya :) Setelah sekitar 20 km berjalan, kami kembali berhenti untuk yang ke 6 kalinya di sebuah pom bensin –entah dimana. Karena sepertinya Pak Ketu juga belum tau arah menuju Pantai Santolo kemana. Ckckck. Tersesat? Ngga lah. Kita kan bocah-bocah petualang haha. Setelah 5 menit beristirahat dan berfoto dengan background pegunungan, kami pun melanjutkan perjalanan.

Di rute selanjutnya, kami mulai memasuki kawasan berkelok. Pertama kali yang membuatku takjub ketika melewati kawasan ini yaitu ketika melihat sebuah ‘gunung batu’. Ya sebuah batu besar, karena saking besarnya batu itu lebih mirip gunung batu. Tapi asli lho, subhanallah sekali.

Dan belum selesai kami dibuat takjub dengan fenomena alam tersebut, mata kami kembali dimanjakan dengan pemandangan yang indah luar biasa. Saking indahnya, saya sulit mengungkapkannya dalam kata-kata. Dari mulai perkebunan teh yang membentang sampai  air terjun semuanya kami temukan disana. Pokoknya indah luar biasa. Banyak lho, orang-orang yang berhenti di sepanjang jalan sana untuk sekedar menikmati keindahan dan berfoto ria bersama rombongan.
 
(diantara sebagian keindahan perjalanan menuju Pantai Santolo Pameungpeuk-Garut)

Kami juga sempat berhenti -sambil menunggu teman yang tertinggal- untuk mengabadikan moment di tempat yang langka ini. Tapi sayang, pak ketu sepertinya kurang tepat memilih  tempat pemberhentian. Jadi indahnya kawasan ini tak terlalu nampak.


Setelah rombongan lengkap dan puas berfoto. Kami melanjutkan perjalanan. Meskipun kami tak tau posisi kami berada dimana, tapi dapat diperkirakan perjalanannya kami tempuh masih panjang. (Tau darimana?) Ya, tujuan kita kan mau ke pantai, sementara kita masih terdampar di daerah pegunungan. Tanda-tanda ada pantai aja belum keliatan. Ckck *Sekedar informasi, ketika kami berhenti di sana. Waktu sudah menunjukan pukul 09.30.

Dan ternyata ehh ternyata, rute mengular -pegunungan itu- panjang sekali. Dan apesnya kantong bekal makanan dan air yang ku bawa dari rumah jatuh di tengah jalan. Mau puter balik buat ngambil, pasti makin ketinggalan rombongan. Ngga diambil, inget sama ibu yang udah nyiapin bekal itu dari jam 2 malam. Tapi, daripada ketinggalan rombongan akhirnya ku relakan bekal ku tergeletak begitu saja di tengah jalan. Pikirku, toh aku masih punya kue dan lontong buat cadangan makanan kalo nanti aku kelaparan. (Maafkan anakmu yang tak bisa menjaga bekalmu bu)

Satu jam berjalan, lumayan juga pantat udah panas gara-gara duduk kelamaan. Ditambah salah satu personil –Teh Vitra- sakit, jadi kami pun kembali berhenti untuk beristirahat. Karena lapar, kami kembali membuka bekal. Aku sendiri, waktu itu nyari bengkel buat nambah angin. Sambil nanya ke penduduk sekitar, ternyata perjalanan menuju Pantai Santolo masih jauh katanya sekitar 15 km lagi. Dan satu fakta yang kembali kami temukan, jalur yang kami tempuh ini memang berputar. Kalau dari Ciamis, ngambil jalurnya lebih dekat Jalur Tasik-Pamijahan-Cipatujah. (Ohh pantes aja udah hampir 7 jam kita belum nyampe juga, ternyata emang salah ambil jalur katanya. Ckckck) Tapi ada untungnya juga sih, kita jadi tau di dunia yang mulai panas ini masih ada tempat-tempat seindah tadi :)

Pada permberhentian ke 9 ini sempat terjadi insiden kecil, motor anak prakerin –Iki- nyenggol mobil. Ngga sampai terjadi apa-apa sih, tapi cukup membuat Ina nangis gara-gara shock. Akhirnya Ina pindah ke motorku dan Lukman pindah ke motor Iki. Setelah sekitar 15 menit beristirahat kami pun melanjutkan perjalananan.

Sekitar setengah jam perjalanan dari pemberhentian terakhir, kami menemukan tanda-tanda daerah pantai –udara mulai terasa panas dan banyak sungai. Akhirnya, setelah 7 jam perjalananan kami sampai juga di pantai yang kami cari, Pantai Santolo. Rasa senang ketika menemukan tulisan ‘Selamat Datang di Kawasan Pantai Indah Santolo’ sampai saat ini, masih bisa kurasakan. Bagaimana tidak, tujuh jam perjalanan yang kami tempuh cukup membuat ku kelelahan. *fiuhh

Kami membeli tiket masuk. Harganya 6000 per orang (Murah ya?) Sambil menunggu personil lengkap kami menepi di dekat pintu masuk. Dan ternyata biar hari sudah siang, para pengunjung yang masuk masih ramai. Itulah cerita perjalanan keberangkatan yang amat melelahkan.

Baca juga: