Halaman

Selasa, 16 September 2014

Ketika Mimpi itu Hilang



Aku senang merangkai mimpi. Meski, tak jarang mimpiku banting stir menjadi sebuah obsesi. Dan ketika mimpi menjadi obsesi, aku sering hancur karena obsesiku sendiri. Aku rasa dinding pembatas antara mimpi dan obsesi, itu tipis sekali. Tapi meski demikian, tetap saja ada sesuatu yang dapat kita bedakan. Ketika kita mempunyai mimpi kemudian berusaha untuk mewujudkannya namun ternyata kita gagal, kita tak kan pernah putus asa. Tetapi, ketika yang kita punya adalah obsesi dan ternyata kita tak bisa meraihnya, maka jangan salahkan siapa-siapa apabila kita hancur karenanya. Dan itulah yang dulu pernah aku rasakan.
Tanpa sengaja Februari 2013 -hampir satu tahun ya- aku membaca sebuah pengumuman beasiswa kuliah full S1 sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Meski ku sudah tercatat sebagai seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di kotaku, aku tetap penasaran untuk mencobanya. Perkuliahan yang baru berjalan satu semester, jurusan yang aku ambil tak sesuai dengan harapan dan faktor finansialku yang kurang mendukung, seakan menjadi alasan utama yang memotivasiku untuk mengikuti proses seleksi.
Tak sedikit teman-temanku yang meragukan ketika ku ceritakan mimpiku ini, “Ki, Ki, kayaknya kamu kebanyakan mimpi deh, bangun dong! Ini dunia nyata bukan dunia mimpi” omel temanku yang mungkin sudah bosan mendengar mimpi-mimpi yang ku ceritakan. Tapi aku tak menyerah. “Namanya juga mencoba, asal bukan di jalan yang salah. Aku rasa itu fine-fine aja!” protesku dalam hati.
Singkat cerita, ku isi semua form pendaftaran dengan sepenuh hati. Semua persyaratan aku lengkapi, dan ku pastikan semua dokumenku berhasil terkirim. Tiga bulan lamanya aku menanti, menantikan pengumuman peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Penantian panjang tak ku sia-siakan untuk berdo’a. “Ya Tuhan semoga aku bisa lolos dan diterima disana. Amin” do’aku setiap waktu. Aku ingin tunjukan pada mereka, bahwa ketika Kau sudah berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang mustahil di dunia ini.
Hingga sampailah pada saat yang ditunggu-tunggu, 14 Juni. Ya, tanggal itu terasa begitu istimewa untukku. Pengumuman seleksi tahap pertama. Dan ternyata, aku lolos. Alhamdulillah! Dari jumlah 854 pendaftar, aku termasuk ke dalam 64 peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Senang sekali, tinggal satu tahap lagi. Test psikologi, IQ dan Interview. Namun kesalahan ku, kala itu aku diliputi keangkuhan luar biasa. Dalam hati, aku berkeinginan untuk menunjukan pada teman-teman yang meledekku bahwa aku bisa dan aku mampu.
Satu bulan kemudian aku melaksanakan test tahap kedua, via telepon. Aku berusaha semampuku untuk menjawab pertanyaan para interviewer. Tapi entah  kenapa kala itu, keinginanku tak terlalu menggebu-gebu. Do’a ku pun berputar arah, “Ya Tuhan, bila beasiswa ini baik untukku, maka mudahkanlah. Tapi bila beasiswa ini tak baik untukku, maka perlihatkanlah kekuasaanMu padaku”.
Singkat cerita, pengumuman penerima beasiswa pun dibuka. Dan ternyata, jauh di luar dugaanku, aku gagal. Oh, Tuhan langit serasa runtuh menimpaku. Seketika itu pula aku hancur bersama serpihan mimpiku. Keoptimisanku kini terkikis sudah, tak mampu ku memandang hari depan. Delapan peserta yang terpilih dari 64 peserta di seluruh Indonesia, cukup membuatku sadar bahwa ku bukanlah apa-apa disana. Tak lelah batinku menyadarkan, bahwa Allah mempunyai rencana yang lebih indah. Namun hati ini tetap buta dan tak mau sadar. Semua terasa gelap. Tak ada lagi masa depan indah bersama jurusan impian. Tak ada lagi cita dan harapan. Semua hilang.
Tak ada teman, tak ada tempat berbagi, kebetulan pada saat itu kegiatan kuliah dan pesantren sudah libur. Kalaulah Allah tak menolongku, mungkin saat ini aku sudah benar-benar gila. Tapi sekalipun Ia tak pernah meninggalkan hamba-hambaNya, meski mereka –termasuk aku- sering meninggalkanNya.
Anehnya, ketika aku terpuruk mendadak beranda-ku hampir terisi penuh dengan kata motivasi. Baik itu status ataupun tautan dari teman, dari fanpage, bahkan dari orang yang tak ku kenal. Oh Tuhan, mungkin ini caraMu untuk menyadarkanku. Sebuah petikan tautan yang sampai saat ini masih ku ingat:
“… ketika kenyataan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Maka Allah menyuruh kita untuk sabar menunggu. Kita punya rencana. Allah punya rencana. Tapi sehebat apapun rencana kita. Tetaplah rencana Allah yang paling hebat. Yakinlah, kebahagiaan itu akan hadir pada waktunya. Sesuai rencanaNya. Sesuai rancanganNya. Hingga tak ada alasan bagi kita untuk meragukanNya”
Subhanallah! Luar biasa. Tautan tersebut cukup mengobati luka dan kepedihan. Namun belum sepenuhnya¸ aku masih memerlukan seseorang yang menenangkanku. Dan ku pilih beliau, yang selama ini selalu memberiku inspirasi. Bu Ani Herniawati, ya beliau adalah dosen Bahasa Inggris di kelasku. Aku segera mencari alamatnya. Sejauh apapun, aku tak peduli. Sempat tersasar, namun akhirnya tetap kutemukan. Dengan linangan air mata kuceritakan semuanya.
Dan seperti yang ku harapkan, ia mampu memberiku ketenangan. Ia ceritakan semua kisah pedih orang-orang hebat yang mampu melewati masa-masa sulitnya. Namun karena keterbatasan daya ingatku, aku tak dapat menyerap semuanya. Tetapi terlepas dari itu, semua cerita dan nasihatnya bak tetesan embun yang membasahi kegersangan hati.
Ia selalu yakin, sepahit apapun kepedihan yang kita rasakan. Entah kapan, bila waktunya tiba Allah akan menggantikannya dengan kebahagiaan, dengan cara apapun. Meskipun bukan kebahagiaan dari yang kita inginkan.
Aku pulang dengan hati yang lebih tenang. Aku yakin Allah selalu ada untukku, Ia tak pernah meinggalkanku, dan Ia mempunyai rencana yang lebih indah untuk hidupku. 30 menit setelah ku sampai di rumah, aku menerima sebuah pesan dari staff TU:
Sore ini Azkiya Islami ditunggu di kampus. Penting!”
Tanpa banyak berpikir, aku segera pergi. Sesampainya disana seorang staff TU -Pak Yadi- menyambutku dengan senyuman. Ia memberikan 2 lembar kertas. Apa ini? Pak Yadi pun mulai menjelaskan. Dan Subhanallah! Baru saja aku menangis tersedu mengingat kegagalanku, kini sebuah penawaran beasiswa hadir dihadapanku.
“Tapi jangan banyak berharap dulu, soalnya ini baru proposal. Dari sisi diambil 10 mahasiswa. Nanti di seleksi ulang. Mudah-mudahan bisa terpilih. Ini persyaratannya” tuturnya menjelaskan. Ia pun kembali memberikan selembar kertas yang berisikan beberapa persyaratan yang harus ku lengkapi.
“Ya Tuhan, semua ini begitu indah. Benarlah, tak ada lagi alasan untukku meragukan semua rencanaMu”
Itulah kisah yang ingin ku bagi, semoga bisa bermanfaat dan memberi sedikit inspirasi. Dan wajib kita ingat, yang Ia BERIkan mungkin BUKANlah apa yang kita INGINkan, TAPI apa yang kita BUTUHkan. Oh, iya satu lagi apabila kita ingin sukses disamping mempersiapkan kesuksesan, kita juga harus mempersiapkan kegagalan. Ok guys! Dan terakhir, do’aku sukses selalu untuk orang-orang yang tak pernah menyerah pada keadaan. : )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar