Aku senang merangkai mimpi. Meski, tak jarang mimpiku banting stir menjadi sebuah obsesi. Dan ketika mimpi menjadi obsesi, aku sering hancur karena obsesiku sendiri. Aku rasa dinding pembatas antara mimpi dan obsesi, itu tipis sekali. Tapi meski demikian, tetap saja ada sesuatu yang dapat kita bedakan. Ketika kita mempunyai mimpi kemudian berusaha untuk mewujudkannya namun ternyata kita gagal, kita tak kan pernah putus asa. Tetapi, ketika yang kita punya adalah obsesi dan ternyata kita tak bisa meraihnya, maka jangan salahkan siapa-siapa apabila kita hancur karenanya. Dan itulah yang dulu pernah aku rasakan.
Tanpa sengaja Februari 2013 -hampir
satu tahun ya- aku membaca sebuah pengumuman beasiswa kuliah full S1 sebuah
perguruan tinggi di Jakarta. Meski ku sudah tercatat sebagai seorang mahasiswi
di salah satu perguruan tinggi di kotaku, aku tetap penasaran untuk mencobanya.
Perkuliahan yang baru berjalan satu semester, jurusan yang aku ambil tak sesuai
dengan harapan dan faktor finansialku yang kurang mendukung, seakan menjadi
alasan utama yang memotivasiku untuk mengikuti proses seleksi.
Tak sedikit teman-temanku yang
meragukan ketika ku ceritakan mimpiku ini, “Ki, Ki, kayaknya kamu kebanyakan
mimpi deh, bangun dong! Ini dunia nyata bukan dunia mimpi” omel temanku yang
mungkin sudah bosan mendengar mimpi-mimpi yang ku ceritakan. Tapi aku tak
menyerah. “Namanya juga mencoba, asal bukan di jalan yang salah. Aku rasa itu fine-fine
aja!” protesku dalam hati.
Singkat cerita, ku isi semua form
pendaftaran dengan sepenuh hati. Semua persyaratan aku lengkapi, dan ku
pastikan semua dokumenku berhasil terkirim. Tiga bulan lamanya aku menanti,
menantikan pengumuman peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Penantian
panjang tak ku sia-siakan untuk berdo’a. “Ya Tuhan semoga aku bisa lolos dan
diterima disana. Amin” do’aku setiap waktu. Aku ingin tunjukan pada mereka,
bahwa ketika Kau sudah berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang mustahil di
dunia ini.
Hingga sampailah pada saat yang
ditunggu-tunggu, 14 Juni. Ya, tanggal itu terasa begitu istimewa untukku.
Pengumuman seleksi tahap pertama. Dan ternyata, aku lolos. Alhamdulillah!
Dari jumlah 854 pendaftar, aku termasuk ke dalam 64 peserta yang lolos seleksi
tahap pertama. Senang sekali, tinggal satu tahap lagi. Test psikologi, IQ dan
Interview. Namun kesalahan ku, kala itu aku diliputi keangkuhan luar biasa. Dalam
hati, aku berkeinginan untuk menunjukan pada teman-teman yang meledekku bahwa
aku bisa dan aku mampu.
Satu bulan kemudian aku melaksanakan
test tahap kedua, via telepon. Aku berusaha semampuku untuk menjawab pertanyaan
para interviewer. Tapi entah kenapa kala
itu, keinginanku tak terlalu menggebu-gebu. Do’a ku pun berputar arah, “Ya
Tuhan, bila beasiswa ini baik untukku, maka mudahkanlah. Tapi bila beasiswa ini
tak baik untukku, maka perlihatkanlah kekuasaanMu padaku”.
Singkat cerita, pengumuman penerima
beasiswa pun dibuka. Dan ternyata, jauh di luar dugaanku, aku gagal. Oh, Tuhan
langit serasa runtuh menimpaku. Seketika itu pula aku hancur bersama serpihan
mimpiku. Keoptimisanku kini terkikis sudah, tak mampu ku memandang hari depan. Delapan
peserta yang terpilih dari 64 peserta di seluruh Indonesia, cukup membuatku
sadar bahwa ku bukanlah apa-apa disana. Tak lelah batinku menyadarkan, bahwa
Allah mempunyai rencana yang lebih indah. Namun hati ini tetap buta dan tak mau
sadar. Semua terasa gelap. Tak ada lagi masa depan indah bersama jurusan
impian. Tak ada lagi cita dan harapan. Semua hilang.
Tak ada teman, tak ada tempat
berbagi, kebetulan pada saat itu kegiatan kuliah dan pesantren sudah libur.
Kalaulah Allah tak menolongku, mungkin saat ini aku sudah benar-benar gila. Tapi
sekalipun Ia tak pernah meninggalkan hamba-hambaNya, meski mereka –termasuk
aku- sering meninggalkanNya.
Anehnya, ketika aku terpuruk
mendadak beranda-ku hampir terisi penuh dengan kata motivasi. Baik itu status
ataupun tautan dari teman, dari fanpage, bahkan dari orang yang tak ku kenal.
Oh Tuhan, mungkin ini caraMu untuk menyadarkanku. Sebuah petikan tautan yang
sampai saat ini masih ku ingat:
“… ketika kenyataan tak sesuai dengan
apa yang kita inginkan. Maka Allah menyuruh kita untuk sabar menunggu. Kita
punya rencana. Allah punya rencana. Tapi sehebat apapun rencana kita. Tetaplah
rencana Allah yang paling hebat. Yakinlah, kebahagiaan itu akan hadir pada
waktunya. Sesuai rencanaNya. Sesuai rancanganNya. Hingga tak ada alasan bagi
kita untuk meragukanNya”
Subhanallah! Luar biasa. Tautan tersebut cukup mengobati luka dan kepedihan.
Namun belum sepenuhnya¸ aku masih memerlukan seseorang yang menenangkanku. Dan
ku pilih beliau, yang selama ini selalu memberiku inspirasi. Bu Ani Herniawati,
ya beliau adalah dosen Bahasa Inggris di kelasku. Aku segera mencari alamatnya.
Sejauh apapun, aku tak peduli. Sempat tersasar, namun akhirnya tetap kutemukan.
Dengan linangan air mata kuceritakan semuanya.
Dan seperti yang ku harapkan, ia mampu
memberiku ketenangan. Ia ceritakan semua kisah pedih orang-orang hebat yang
mampu melewati masa-masa sulitnya. Namun karena keterbatasan daya ingatku, aku
tak dapat menyerap semuanya. Tetapi terlepas dari itu, semua cerita dan
nasihatnya bak tetesan embun yang membasahi kegersangan hati.
Ia selalu yakin, sepahit apapun
kepedihan yang kita rasakan. Entah kapan, bila waktunya tiba Allah akan
menggantikannya dengan kebahagiaan, dengan cara apapun. Meskipun bukan
kebahagiaan dari yang kita inginkan.
Aku pulang dengan hati yang lebih
tenang. Aku yakin Allah selalu ada untukku, Ia tak pernah meinggalkanku, dan Ia
mempunyai rencana yang lebih indah untuk hidupku. 30 menit setelah ku sampai di
rumah, aku menerima sebuah pesan dari staff TU:
“Sore ini Azkiya Islami ditunggu
di kampus. Penting!”
Tanpa banyak berpikir, aku segera
pergi. Sesampainya disana seorang staff TU -Pak Yadi- menyambutku dengan
senyuman. Ia memberikan 2 lembar kertas. Apa ini? Pak Yadi pun mulai
menjelaskan. Dan Subhanallah! Baru saja aku menangis tersedu mengingat
kegagalanku, kini sebuah penawaran beasiswa hadir dihadapanku.
“Tapi jangan banyak berharap dulu,
soalnya ini baru proposal. Dari sisi diambil 10 mahasiswa. Nanti di seleksi
ulang. Mudah-mudahan bisa terpilih. Ini persyaratannya” tuturnya menjelaskan.
Ia pun kembali memberikan selembar kertas yang berisikan beberapa persyaratan
yang harus ku lengkapi.
“Ya Tuhan, semua ini begitu indah.
Benarlah, tak ada lagi alasan untukku meragukan semua rencanaMu”
Itulah kisah yang ingin ku bagi, semoga
bisa bermanfaat dan memberi sedikit inspirasi. Dan wajib kita ingat, yang Ia
BERIkan mungkin BUKANlah apa yang kita INGINkan, TAPI apa yang kita BUTUHkan. Oh,
iya satu lagi apabila kita ingin sukses disamping mempersiapkan kesuksesan, kita
juga harus mempersiapkan kegagalan. Ok guys! Dan terakhir, do’aku sukses selalu
untuk orang-orang yang tak pernah menyerah pada keadaan. : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar